Pages

Thursday, January 9, 2014

[Book Review #62] The Boy Who Ate Stars

Penulis: Kochka
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan I, Agustus 2008
Tebal: 104 halaman
ISBN: 978-979-22-3927-0
Rating: 3,5 dari 5 bintang
 


Blurb:

Semuanya bermula ketika Lucy, yang berumur dua belas tahun, baru pindah rumah. Salah satu tetangga barunya adalah Matthew, anak laki-laki umur empat tahun yang sangat istimewa. Lucy belum pernah bertemu anak seperti Matthew, yang bisa "berubah" menjadi apa saja yang saat itu menarik perhatiannya, yang suka sekali mengacak-acak rambut panjang, yang memandang dunia dari sudut sama sekali berbeda. Bersama Matthew, dan Francois, anjing kecil pemalu milik kenalan ibunya, Lucy menghabiskan saat-saat penuh kejutan ketika berusaha menyelami dunia Matthew.

Review: 

Lucy baru saja pindah ke flat di daerah Rue Merlin, Paris. Ia bertekad ingin mengenal semua tetangganya dan memajang semua bendera negara asal tetangganya. Pada suatu hari ia dan keluarganya mendengar bunyi gedebuk keras di lantai atas flatnya, ayah Lucy yang jengkel langsung naik ke flat di atasnya dan melabrak tetangga tersebut. Tapi aneh. Tidak ada adu argumen ataupun teriakan. Beberapa saat kemudian, ayah Lucy kembali lagi ke flat seakan-akan tidak terjadi apa-apa dan melupakan kejadian tersebut.


Lucy penasaran. Besoknya ia memberanikan diri memencet bel flat tersebut. Ia bertemu dengan seorang anak kecil yang langsung mengacak-acak rambutnya dengan bersemangat. Pintu flat itu tertutup kembali dan Lucy masih tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Di dalam lift ia bertemu dengan ibu Matthew, Marie. Ia mengatakan bahwa Matthew adalah anak autistik.


"Autisme (dari bahasa Yunani autos, diri sendiri): penarikan diri patologis ke dalam dunia batin yang mengakibatkan hilangnya kontak dengan realitas dan ketidakmampuan berkomunikasi dengan orang lain." - hal. 37

Seminggu Lucy terbebani dengan kata-kata yang diucapkan oleh Marie. Ia tidak mengerti apa itu autistik dan penjelasan dari kamus yang ia baca pun tidak sepenuhnya dapat ia mengerti. Dengan rasa tahu yang besar, Lucy kembali ke rumah Matthew dan ingin mengetahui lebih banyak tentang autistik itu. Bersama Francois dan Theo, Lucy memasuki dunia Matthew.


"Orang autistik itu seperti planet tersendiri yang kebetulan saja mendarat di sini, dan bukannya memandang para penghuni bumi lainnya sementara ia bergerak di sekeliling mereka, dia berpusar di dalam dirinya sendiri. Jadi, dia menjadi sistem planetnya sendiri, dan usaha untuk menjangkaunya sama sulitnya dengan naik komidi putar ketika wahana itu sudah bergerak." - hal. 39

Autisme bukan lagi hal yang aneh bagi kita. Beberapa tahun terakhir ini, autisme diperkenalkan kepada dunia agar semua orang mengerti bahwa anak autis itu bukanlah anak idiot dan autisme itu bukanlah penyakit menular. Saya juga masih sebal dengan orang-orang yang suka melabeli bahwa orang yang sibuk dengan hp disebut autis. Padahal itu dua hal yang berbeda :|

Di sepanjang buku ini, Lucy bertutur tentang kesehariannya dari mulai mengenal Matthew dan berinteraksi dengannya. Sosok Lucy adalah panutan seharusnya bagaimana orang lain bersikap terhadap anak autistik. Di buku ini pun diceritakan juga tentang pandangan orang lain yang tidak peduli dan menganggap anak autistik itu harus dijauhi. Sama dengan tanggapan kedua orang tua Lucy yang acuh terhadap Matthew.

Saya terkesan dengan Marie dan terutama Maougo. Mereka sangat sabar dalam menghadapi Matthew. Karena saya tahu, untuk mengasuh anak autistik itu tidak mudah dan butuh kesabaran tinggi serta kasih sayang yang tidak terbatas. Di buku ini Marie, Maougo, juga Lucy membuktikannya. Mereka berkeyakinan dapat berkomunikasi dengan Matthew tanpa memaksa Matthew untuk melihat dunia sekitar, tapi dengan memasuki dunia Matthew dan mengenalnya.

Bukunya memang tipis sekali dengan ukuran huruf besar-besar membuat saya bisa menyelesaikannya dengan cepat. Ditambah dengan sampul bukunya yang kece membuat saya menyingkirkan daftar bacaan lain dan memilih membaca buku ini lebih dulu. Tapi sayang, terjemahannya agak membingungkan untuk saya. Kalimatnya sedikit sulit dicerna :/

Pesan moral yang coba disampaikan oleh Kochka pun tersampaikan dengan baik. Saya juga jadi bisa mengerti bagaimana autisme itu. Namun sayang, beberapa emosi yang terjadi di dalam buku ini tidak terlalu tersampaikan dengan baik. Buku ini memang bagus. Tapi ya hanya begitu. Agak terkesan datar. Walaupun begitu, untuk keseluruhan saya suka dengan buku ini dan merekomendasikannya untuk dibaca.

Review ini diikursertakan dalam:
- 2014 TBRR Pile Reading Challenge
- Lucky No. 14 Reading Challenge (kategori Bargain All the Way)
- Children's Literature Reading Project

1 comment:

  1. Waaah ini aku pingin baca dari dulu belum kesampean deh. selalu suka baca buku2 dengan tokoh autistik/asperger, menambah pengetahuan soalnya...

    ReplyDelete