Wednesday, August 6, 2014

[Book Review #108] The Fault in Our Stars

Penulis: John Green
Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno
Penerbit: Qanita
Cetakan pertama, Desember 2012
Tebal: 422 halaman
ISBN: 978-602-922-558-7
Rating: 4 dari 5 bintang
Bisa didapatkan di: Bukukita

Blurb:

Mengidap kanker pada umur 16 tahun pastilah terasa sebagai nasib sial, seolah bintang-bintang serta takdirlah yang patut disalahkan. Itulah yang dialami oleh Hazel Grace. Sudah begitu, ibunya terus memaksanya bergabung dengan kelompok penyemangat penderita kanker. Padahal, Hazel malas sekali.

Tapi, kelompok itu toh tak buruk-buruk amat. Di sana ada pasien bernama Augustus Waters. Cowok cakep, pintar, yang naksir Hazel dan menawarinya pergi ke Amsterdam untuk bertemu penulis pujaannya. Bersama Augustus, Hazel mendapatkan pengalaman yang sangat menarik dan tak terlupakan.

Tetap saja, rasa nyeri selalu menuntut untuk dirasakan, seperti halnya kepedihan. Bisakah Augustus dan Hazel tetap optimistis menghadapi penyakit mereka, meskipun waktu yang mereka miliki semakin sedikit setiap harinya?

Novel ini membawa kita ke dunia para karakternya, yang sanggup menghadapi kesulitan dengan humor-humor dan kecerdasan. Di balik semua itu, terdapat renungan mengenai berharganya hidup dan bagaimana kita harus melewatinya (Goodreads).

Review:

Hazel Graze menderita kanker tiroid yang sudah menyebar ke paru-parunya sehingga ia perlu bernafas dengan dibantu oleh selang oksigen. Walaupun ia malas pergi ke pertemuan Kelompok Pendukung, ia akhirnya selalu datang juga dan dengan bosannya mendengarkan cerita Patrick tentang buah pelirnya yang hilang. Namun, suatu hari Hazel bertemu dengan Isaac dan Augustus, penderita kanker mata dan kanker osteosarkoma. Isaac yang sebentar lagi akan kehilangan satu lagi matanya, juga Gus yang dulu pernah kehilangan satu kakinya. Dua sahabat yang obrolan ceplas-ceplos juga lucunya setara dengan Hazel.

Gus yang sejak awal tertarik pada Hazel terus mendekatinya. Awalnya mereka bertukar buku bacaan favorit. Hazel memberikan buku Kemalangan Luar Biasa-nya dan Gus memberikan Ganjaran Fajarnya. Lalu lama kelamaan, rasa kagum yang dirasakan oleh masing-masing berubah menjadi lebih dalam. Obsesi Hazel untuk bertemu dengan Peter van Houten pun dikabulkan oleh Gus. Mereka bersama-sama berangkat ke Belanda untuk memperoleh jawaban tentang cerita selanjutnya dari akhir buku Kemalangan Luar Biasa.

"Aku takut dilupakan untuk selamanya. Ketakutanku itu sama seperti orang buta yang takut terhadap kegelapan." - hal. 21

Saya membaca buku ini sebetulnya sudah selesai sebulan yang lalu. Awalnya saya menunda membuat review karena akan dimasukkan dalam Posbar BBI bulan Juli, tapi ternyata saya gak sempat juga menulis reviewnya. Jadi sekarang ini, saya menulisnya hanya berdasarkan ingatan samar-samar aja tentang sebulan yang lalu :(

Pertama saya mau curhat tentang terjemahannya. Sampul depannya lebih berkesan seperti buku anak-anak ketimbang buku dewasa muda. Pemilihan warna sampulnya yang ceria juga makin membuat kesan buku anaknya. Lalu untuk terjemahannya, agak berbelit-belit dan kadang kaku. Beberapa kata yang diterjemahkan pun ada yang meleset jauh sehingga membuat saya terheran-heran. Tapi untuk jenis dan ukuran huruf yang digunakan cukup baik, saya tidak merasa kesulitan dalam membacanya.

Sekarang untuk ceritanya. Saya agak skeptis sebetulnya waktu tahu buku ini bergenre sicklit. Pikiran saya langsung menghakimi bahwa buku ini jangan-jangan bikin sedih terus. Tapi ternyata saya salah. Saya justru beberapa kali dibuat tertawa oleh gurauan Hazel dan Gus yang sarkasme dan cerdas. Oke, beberapa bagian memang sedih. Namun, saya beruntung tidak perlu menangis karena membaca buku ini seperti yang lainnya.

Saya terkesan dengan kebesaran hati semua karakter dalam buku ini, Hazel, Gus, Isaac, para penderita kanker lainnya, para orangtua, teman dan juga sahabat. Mereka dengan ikhlas menerima apa yang telah ditakdirkan Tuhan. Di sini terletak pesan moralnya, bahwa kita harus ikhlas dengan semua garis takdir yang sudah dituliskan oleh Tuhan dan mensyukuri semua nikmat Tuhan yang telah diberikan.

Satu-satunya yang mengganjal untuk saya adalah, Mengapa buku Kemalangan Luar Biasa justru menyita sebagian besar cerita Hazel dan Gus? Saya juga gak begitu fokus menyimak isi bukunya karena saya lebih penasaran dengan cerita Hazel dan Gus dengan penyakitnya. Di dalam buku ini juga ada salah satu adegan yang sebetulnya gak penting-penting amat dan bikin saya agak bosen baca paragrafnya, yaitu saat Hazel dan Gus mengunjungi Museum Anna Frank. Ya mungkin Mr. Green sengaja memasukkan museum itu ke dalam buku sih, kan aneh aja udah jauh-jauh ke Belanda tapi gak kemana-mana cuma ke rumah Van Houten yang aneh itu.

Lucunya... ternyata setelah saya membaca buku ini sampai akhir, Van Houten dan bukunya Kemalangan Luar Biasa justru sedikit banyaknya berperan dalam hidup Hazel. Bagaimana Van Houten dan bukunya secara tidak langsung malah mendekatkan Hazel dan Gus sampai mereka nekat terbang ke Belanda.

Bagian yang bikin saya sedih adalah pada saat Hazel membacakan eulogi untuk Gus. Dan tentu saja, isi surat Gus untuk Van Houten :(

Berikut ini adalah poster film dari The Fault in Our Stars yang sayang sekali belum saya tonton. Saya suka sekali dengan poster film ini dan sengaja menyisipkannya dalam review saya di sini :D


Literary awards:
- Buxtehuder Bulle (2012)
- Odyssey Award for Excellence in Audiobook Production Honor (2013)
- West Australian Young Readers' Book Award (WAYRBA) for Older Readers (2013)
- ALA Teens' Top Ten Nominee (2012)
- Indies Choice Book Award for Young Adult (2013)
- Deutscher Jugendliteraturpreis for Preis der Jugendjury (2013)
- Dioraphte Jongerenliteratuurprijs for vertaald boek en publieksprijs (2013)
- The Inky Awards for Silver Inky (2012)
- Abraham Lincoln Award (2014)
- Goodreads Choice for Best Young Adult Fiction (2012)

Review ini diikutsertakan dalam:
- Lucky No. 14 Reading Challenge (kategori Blame it on Bloggers)
- 2014 TBRR Pile
- New Author Reading Challenge 2014
- Young Adult Reading Challenge 2014
- Indiva Readers Challenge 2014

3 comments:

  1. Kalo aku nggak begitu suka sama gambar love-love di tiap halamannya (buat yg cover biru sih, kalo cover film aku belum lihat beda apa enggak). Ganggu aja hehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh iya, aku jadi lupa bahas layout-nya. Aku juga sama, gak suka dengan layout-nya yang banyak lope-lopenya. Ganggu bener :/

      Delete
    2. Yang cover film, gambar love2 di setiap halaman tetap ada. Lumayan ganggu emang.

      Delete