Monday, August 19, 2013

[Book Review #12] Kala Kali

Penulis : Valiant Budi & Windy Ariestanty
Editor: Gita Romadhona
Cetakan I, 2012
Penerbit : GagasMedia
Tebal : 328 halaman
ISBN : (13) 978-979-780-581-4, (10) 979-780-581-6
Rating:  4 dari 5 bintang

Blurb:

Gegas dan waktu tak pernah bisa berbagi ruang, apalagi, berbagi cerita. maka, saling mencarilah mereka, berusaha menggenapi satu sama lain. hingga satu titik, kāla menjadi mula dan kālī mengakhiri cerita.

***

Aku merasa kembali menjadi balita, mengentak-entakkan kaki ke lantai sambil bertepuk-tepuk tangan gembira. Tidak ingin membuang-buang waktu, aku segera meniup lilin sambil berharap dalam hati akan ada lilin serupa untuk tahun depan, di atas sepotong kue yang dibawakan Ibu. AMIN!


Berbagai potongan kenangan dengan Ibu berkelebatan hebat di benakku. Aku mungkin berbeda dengan remaja lainnya yang kala mengingat masa kecil selalu dengan tawa dan kebersamaan yang hangat; seperti yang kulihat di lembaran iklan-iklan susu balita atau es krim literan itu.

Dan, setiap kenangan itu hadir, ingin rasanya membalikkan langkah. 
(Ramalan dari Desa Emas, Valiant Budi)

---


Setiap kali berulang tahun, aku semakin mendekati tempat asalku: ketiadaan. Ibuku bilang, dunia ini sendiri pun lahir dari ketiadaan. Karena lahir dari ketiadaan, mengapa pula harus mencemaskan kehilangan?

Ketiadaan itu meluaskan, kata Ibu, dan mempertemukan manusia dengan banyak hal, di antaranya cinta. ‘Aku berharap bisa melindungimu dari patah hati. Tapi, itu tak mungkin.’
(Bukan Cerita Cinta, Windy Ariestanty)

Review:
"Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui"

Peribahasa ini cocok sekali dengan kondisi yang saya alami saat ini kala membaca buku Gagas Duet. Baik Valiant Budi, maupun Windy Ariestanty. Dua-duanya merupakan penulis baru bagi saya karena sebelum ini saya belum pernah membaca karya mereka masing-masing. Jadi pilihan saya dalam membaca novel Gagas Duet ini bisa dibilang coba-coba, apakah ramuan keduanya bisa cocok dengan selera bacaan saya atau tidak.

Buku ini terdiri dari dua bagian cerita. Bagian pertama ditulis oleh Valiant budi dan bagian kedua ditulis oleh Windy Ariestanty.

1. Ramalan dari Desa Emas

Petualangan dimulai saat Keni Arladi sebagai tokoh utama cerita ini datang ke Sawarna untuk merayakan sendirian ulang tahun ke-18 yang tinggal seminggu lagi. Berbekal nebeng dengan rombongan yang satu arah tujuan, Keni akhirnya sampai di Sawarna. Tapi ternyata niat awal langsung berbelok arah dari tujuan semula saat Keni mendengar ramalah nyeleneh dari bocah botak plontos yang mengatakan bahwa ia akan mati sebelum umurnya 18 tahun.

Segala cara dilakukan oleh Keni untuk kabur dari tempat itu. Kabur malam-malam dari Bapak-bapak yang diyakininya mempunyai niat buruk, dililit ular, jadi saksi mata sebuah kecelakaan yang menewaskan teman seperjalannya, bertemu teman lama, mengalami musibah kebakaran yang menyebabkan teman serta keluarganya meninggal, sampai akhirnya bertemu kembali dengan ibu kandungnya yang bertahun-tahun telah terpisah.


Setelah peristiwa ramalan itu mau tidak mau Keni menjadi paranoid. Semua hal yang dialaminya ia pikir akan berujung pada kematian. Ini yang membuat saya berdebar-debar dalam membaca lembar demi lembar halaman. Takutnya si ini nanti mati, si itu mati, atau benar bahwa Keni sendiri yang akan mati.

Alurnya cepat, jadi pada saat membaca tidak akan terasa sudah ada di halaman berapa lalu kemudian tiba-tiba cerita telah habis. Gaya bahasa Vabyo terasa khas, padahal saya belum pernah membaca novelnya sebelum ini.

"Beberapa kenangan berkelebatan dalam benak. Ada secercah rindu, tapi enggan bertemu."

Di beberapa halaman terakhir, saya pikir benar apa yang Keni pikirkan bahwa pesan moral dari semua peristiwa yang Keni lalui itu adalah demi berkumpul kembali dengan ibunya. Saya cukup senang dengan open ending yang disuguhkan, rasanya tidak mau lagi terus lanjut membaca sambil berdebar-debar :p

Untuk bagian ini saya beri 4 bintang dari 5.

2. Bukan Cerita Cinta

Menceritakan tentang Bima, si lelaki kentut yang juga merupakan seorang editor yang hidupnya tanpa disadarinya selalu terpusat pada Akhsara, si perempuan penulis. Tentu saja sama seperti (bukan) cerita cinta lainnya, bahwa Bima tidak sadar akan perasaannya, sampai satu waktu ia dipertemukan dengan Koma melalui Akhsara. Tapi Koma tetaplah bukan titik, ia selalu di tengah. Pada akhirnya... ya seperti yang bisa ditebak.



"Koma itu ibarat proses. Dan, titik adalah akhirnya."

Bagian kedua buku ini beralur lambat, kadang saya membayangkan beberapa adegannya adalah berupa slow motion. Tapi itu sama sekali tidak mempengaruhi kecepatan membaca saya. Cukup tiga jam saja, dan dengan diselingi mengerjakan kegiatan sehari-hari lainnya, saya selesai juga membacanya.

Sebelum membaca ini, saya mengenal Windy dari salah satu akun yang me-retweet kicauannya. Dari situ saya mengetahui bahwa ia berprofesi sebagai editor di samping menjadi penulis. Mirip dengan cerita dalam buku ini, isi di dalamnya adalah dunia Windy. Tentang dunia penyuntingan dan fotografi. Baru kali ini saya disuguhkan dengan kalimat-kalimat panjang dan sama sekali tidak membuat saya bosan.

Tentang tokoh yang paling saya sukai. Hmm... saya akan memilih Koma. Ia jujur, bebas, spontan, dan apa adanya. Aneh ya, kenapa bukan Bima atau Akhsara? Haha. Ending-nya oke lah, tidak masalah. Karena saya sudah cukup terkesan setelah membaca cerita ini. Dan akhirnya... saya rekomendasikan buku ini untuk yang ingin membaca (bukan) cerita cinta yang realistis :p

4 bintang untuk Windy! :D


"Sebesar itulah cinta. Tak pernah sangat besar, tidak juga terlalu kecil. Cinta itu cukup."

"Tak pernah ada cara yang tepat untuk mencintai. Yang disebut tepat adalah ketika aku dan kamu mencintai dengan cukup."

6 comments:

  1. Ah! Selalu pengen buku ini tapi gak tau kenapa gak jadi2 aja belinya (selalu ngiler sama buku lain).
    Baca review ini jadi makin merasa mantap mau beli, makasih reviewnya :) Review untuk cerita Ramalan Dari Desa Emasnya sih yang bikin makin pengen baca buku ini..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih juga udah mampir dan komen. Yuk dibeli bukunya, San. Nanti gantian aku yang baca reviewnya kamu :D

      Delete
  2. Jujur, aku belum baca sama sekali novel ini. Namun, membaca reviewmu saja aku sudah bisa membayangkan isi novel duetnya Gagas. Karyanya Vabyo, lagi-lagi, aku harus jujur belum pernah baca. Mungkin sepintas, iya tapi kalau lengkap, aku terpaksa geleng kepala. Lain halnya dengan Windy Ariestanty. Aku pernah baca bukunya yg Life Traveller juga pernah bertemu dengannya dalam satu acara. Bertemu dgnnya + baca bukunya >> aku bs menyimpulkan gaya bercerita Windy :)

    Soal alur yg berkebalikan (Vabyo dgn alur yg cepat dan Windy yg memilih alur lambat), mungkin keduanya sedang berusaha saling mengimbangi. Apa jadinya jika kedua penulis sama-sama mengajak pembaca berlari cepat? Ngos-ngosan bukan?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, mereka sepertinya memang mempertimbangkan betul-betul semua poin-poin yang membentuk novel ini :)

      Delete
  3. Ini Gagas Duet yang pertama kali aku baca, sebagai #TeamVabyoGaris keras, aku suka buku ini, apalagi ini hadiah langsung dari Bang @vabyo :D

    REVIEW Kãla Kãlī
    http://luckty.wordpress.com/2012/09/16/review-kala-kali/

    ReplyDelete
  4. Belum pernah baca dan pengen baca. Kenapa reviewnya bisa semenggoda ini sih? Aish *liat isi dompet*

    ReplyDelete