Sunday, September 29, 2013

[Book Review #26] Crying 100 Times

Penulis: Nakamura Kou
Penerjemah: Khairun Nisak
Penyunting: NyiBlo
Penerbit: Haru
Cetakan Pertama, Juni 2013
Tebal: 256 halaman
ISBN: 978-602-7742-19-2
Rating: 3,5 dari 5 bintang

Blurb:

“To love, to honor. To cherish, to help. Until death do us apart.”

Waktu itu, kami sedang memperbaiki sepeda motor tuaku.

Waktu itu, ia memintaku untuk menjenguk Book, anjing tua kesayanganku yang sekarat.

Dari dulu, Book sangat menyukai suara mesin motorku.

Waktu itu, Aku melamarnya. 

Waktu itu, aku merasa aku adalah pria paling bahagia di dunia.
Aku kira, kebahagiaan ini tidak akan berakhir. Tapi..

Review:

Tokoh utama buku ini adalah seorang pria yang memiliki anjing bernama Book. Nama itu diambil karena dulu Book diterlantarkan oleh pemiliknya sebelumnya di dekat perpustakaan. Si pria dikabarkan oleh ibunya bahwa Book mengalami gagal ginjal akut. Book ini suka mendengar deru mesin motor 2 tak yang dimiliki oleh pemiliknya. Jadi atas saran pacarnya, ia membetulkan motor itu agar Book bisa senang kembali.

Pacar pria itu pun membantunya. Namun, di satu kejadian. Pria itu dengan spontan melamar pacarnya dan mengajaknya untuk tinggal bersama sebagai percobaan pernikahan. Kehidupan normal mereka pun dimulai. Sedikit demi sedikit mereka mulai membiasakan diri dengan kebiasaan masing-masing. Tapi ternyata hal tersebut tidak berlangsung lama. Sesuatu terjadi...

"Dalam semua hal, akhir adalah hal yang paling penting. Tak terkecuali kehidupan dan cinta, semuanya ada akhirnya.Itulah kenyataannya." - hal. 85

Merasa aneh dengan ulasan cerita yang saya buat? Ya... saya juga merasa aneh dengan bukunya. Saya sengaja mengulas seperti itu karena dalam bukunya pun nama tokoh utama pria baru saya ketahui setelah menginjak pada halaman 103. Begitu pula dengan pacarnya, Nakamura-san baru mengenalkan namanya di halaman 138. Saat saya menemukan nama tersebut, saya tertawa. Saya pikir Nakamura-san akan mengenalkan kedua tokoh utamanya anonim sampai buku ditutup.

Saat saya membaca buku ini sampai pertengahan buku, saya merasa buku ini sangat datar. Suasananya terasa hening, sepi, tipikal beberapa film Jepang yang pernah saya tonton. Terasa tanpa musik latar dan hanya terdengar suara alam seperti suara angin saja.

Di sini saya akan memperkenalkan kedua tokoh utamanya. Tokoh utama pria yang merupakan sudut pandang buku ini bernama Fujii, dan pacarnya bernama Yoshimi. Sampai cerita mereka tinggal bersama saya kehilangan arah. Gak jelas ceritanya apa. Tapi untung, mulai dari setengah bagian buku ceritanya mulai terbentuk.

Untuk karakter dalam buku ini. Sebenarnya saya agak bingung juga menggambarkan deskripsi semua tokohnya dalam buku ini kecuali Book yang gambarnya terlihat jelas di sampul bukunya. Melalui penglihatan pacarnya, pria ini memiliki mata yang indah, cara tertawa yang bagus, kelihatan pintar, dan lumayan ganteng (I'm lost -_-).

Tapi berhubung buku ini sudah difilmkan. Saya mulai membayangkan sosok Okura Tadayoshi dan Kiritani Mirei melebur menjadi Fujii dan Yoshimi.
sumber: dari sini
Terlepas dari beberapa review yang kurang positif di Goodreads, saya menemukan sebetulnya buku ini cukup bagus. Nakamura-san menulis cerita Fujii dan Yoshimi secara sistematis. Hampir tidak ada plothole di sini. Dan beberapa detail informasi tersampaikan dengan baik. Walaupun memang konflik yang disajikan terkesan terlalu datar. Lalu untuk side story Book, sebetulnya kalau dipikirkan ada hubungannya. Semuanya tentang penerimaan dan keikhlasan. Hanya sayang Fujii menyadarinya setelah 100 hari. Cukup sampai di sini, gak mau spoiler :D

Untuk buku ini, saya beri 3,5 bintang. Saya juga penasaran ingin menontong filmnya. Dan ini sekalian saya selipkan trailer filmnya.


17 comments:

  1. Penulisan sistematis itu seperti apa ya? Plothole itu juga apa? Soalnya waktu saya baca ini, rating 2 pun rasanya nggak cocok. Mulai dari terjemahan dan covernya juga ngga mendukung.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maksudnya sistematis disini penulisannya runtun, seperti yang atria bahas di bawah komen ini. Plothole itu ini: http://en.wikipedia.org/wiki/Plot_hole

      Untuk sistem rating rasanya tiap orang memiliki penilaian yang berbeda-beda. Saya memberi rating 3,5 itu pun setelah mempertimbangkan beberapa aspek positif yang diberikan oleh penulisnya :)

      Delete
  2. kabari saya yah kalo sudah ada filmnya..ha..ha..

    kalau saya pribadi melihat gaya penceritaan Nakamura Kou, saya jadi menduga apa memang seperti ini gaya bercerita penulis Jepang.
    sistematis (dalam artian urutan waktunya sangat jelas runtun) deskripsi sangat sering dilakukan. Karena saya juga menemukan tiipe seperti ini pada The Hunter dan The Tokyo Zodiac Murder.

    tapi saya malah cukup menikmati membaca Crying 100 Times karena penasaran sama keputusan2 Fujii. Tapi sikap datar Fujii bagi saya juga akhirnya masuk akal karena berfikir (entah benar atau tidak) memang pola pikir cowok seperti itu kan? Runtun dan terkesan datar bagi perempuan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo ga salah sih filmnya udah ada, tapi belum cek lagi. Hehe...

      Nah iya, aku juga mikirnya gitu. Beberapa kali baca literatur Jepang memang kesannya begini juga. Aku sih mikirnya, mungkin mereka itu berusaha menampilkan isi cerita sesuai realita yang ada.

      Kalo pola pikir cowok itu runtun dan terkesan datar, ga tau juga. Aku bukan cowok *plak* XD

      Delete
  3. @Tammy : Gue pengen beli buku ini karena tertarik sama pengarangnya (kalo nggak salah beliau pernah dapet penghargaan, kan?), judulnya (dari judulnya udah kebayang kalo ceritanya bakal menyentuh), dan covernya (keliatan adem). Gue belom pernah baca buku penerbit Haru sama sekali, jadi nggak tahu gimana terjemahannya. :D

    Kapan ya Penerbit Haru kasih diskon gila-gilaan? >.<

    @^ : saya setuju sama komentarnya, rasanya gaya penulisan orang Jepang memang seperti itu. Alurnya terkesan lambat, seperti film slow motion. Terlalu mendetail, sampai kadang-kadang bikin bosan. Tapi karena saya cinta budaya Jepang, saya pikir itu bukan masalah sama sekali. ^^ Salam kenal.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ga bisa komentar banyak. Baca aja, Ciz. Lalu rasakan sendiri :p

      Delete
  4. Sepengetahuan saya, novel "Crying 100 Times" adalah novel terjemahan Jepang dan telah difilmkan. Ngomongin soal "keanehan", teknik penulisan novel masing-masing negara bisa jadi beda. Untuk mengatasi rasa aneh tersebut, ya harus membiasakan diri baca novel luar negeri, baik yg masih dalam bahasa aslinya maupun yg telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Nah, aneh nggaknya karya terjemahan itu kembali lagi ke kualitas terjemahan si karya. Kalau terjemahannya bagus, ya, bisa mengurangi keanehan yg dirasa. :)

    ReplyDelete
  5. Jadi, menurut kamu apa novel ini menarik? Kalau dibandingkan sama Her Sunny Side mana yang lebih bagus ceritanya ya? Saya penasaran sama buku ini, gambar anjingnya lucu. ^^

    Btw, reviewnya bagus. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kebetulan aku belum baca Her Sunny Side, jadi gak bisa membandingkan. Coba aja dibaca bukunya. barangkali bisa menemukan sudut pandang baru setelah baca buku ini :D

      Delete
  6. Saya belum pernah baca novel terjemahan dari Jepang. Tapi rasanya, kalau kamu kasih rating 3.5, jadi penasaran juga bagaimana gaya penulis Jepang dalam bercerita.
    Iya sih gk boleh ada spoiler, tapi dari review yg kamu tulis, aku jadi nebak-nebak maksud dari judul novel itu. siapa yg menangis? dan apa yg bikin nangis?
    Harusnya memang baca sendiri ya hahaha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Karena kadang rating itu hasil dari interpretasi masing-masing yang baca. Kali aja nanti setelah baca kamu punya pemikiran lain, jadi coba aja dibaca bukunya :D

      Delete
  7. Demi na Tam. Aku pengen banget baca buku ini. Udah beli sekitar Juni lalu. Tapi tetep masuk wish http://ryanarien.blogspot.com/2013/06/wishful-wednesday-26.html. Tapi masalahnya, aku beli buku ini buat temenku. Bukan buatku. Dia ceritanya pengen banget buku ini. Akhirnya setelah panjang cerita yang kubuat singkat aja, akhirnya aku beliin.

    Simple aja sih. Karena ini buku ini berbau Jepang. #youknowwhathappenwithme.....

    Tapi kok jadi ragu pas baca reviewmu. Tapi kan udah filmin. Terlepas dari berjelimet ceritanya, buku ini tetap punya daya tarik hingga industri film melirik.

    Tapi mending nonton dulu aja kalinya biar gak kehilangan arah....

    alah banyak tapinya....

    tapi tetep aja aku pengen baca...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Klo kata aku mending baca dulu sih, baru nonton filmnya. Jepang emang antimainstream, jadi ga aneh juga ada buku yang begini :))

      Delete
  8. Hoo, judul dan covernya entah kenapa catchy dan bikin penasaran ya. Lalu saya kira sebenarnya begitu juga dengan "premis" (if I saying it right) yang dimiliki setelah dipaparkan dalam reviewnya >< Mungkin memang khas Jepang ya untuk membuat cerita yang berkesan "sunyi" dst itu yang kesannya "tidak bergejolak" hehe saya sendiri belum pernah baca novel yang Jepang begitu, cuma pernah baca graphic novel Kim Dong Hwa (...korea, sih ya tapi anggep sama Timurnya hehe) yang kurang lebih kesan "sepi" nya terasa meski "damai"nya dapeet banget.

    Jujur masih penasaran soal hubungannya dengan judulnya yang kayaknya sedih itu, hehehe. Soal seperti apa konfliknya, haha, mungkin kali lain saya kalau ingat bisa coba ke toko buku, but thanks for sharing your reading experience here^^ Salam kenal ya :D

    Khairisa R. P
    @rd_lite
    http://krprimawestri.blogspot.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, beberapa penulis Korea juga punya gaya menulis mirip seperti ini. Walaupun memang tidak semua.

      Salam kenal juga :)

      Delete
  9. ini dari jepang ya... nunggu dramanya deh :3

    ReplyDelete