Friday, September 13, 2013

[Book Review #19] Melbourne: Rewind

Penulis: Winna Efendi
Editor: Ayuning, Gita Romadhona
Desain Sampul: Levina Lesmana
Ilustrasi isi: Tyo
Penerbit: GagasMedia
Cetakan Ketiga, 2013
Tebal: 328 halaman
ISBN: (13) 978-979-780-645-3, (10) 979-780-645-6
Seri lainnya: Goodreads
Rating: 4 dari 5 bintang

Blurb:

Pembaca tersayang,

Kehangatan Melbourne membawa siapa pun untuk bahagia. Winna Efendi menceritakan potongan cerita cinta dari Benua Australia, semanis karya-karya sebelumnya: Ai, Refrain, Unforgettable, Remember When, dan Truth or Dare.

Seperti kali ini, Winna menulis tentang masa lalu, jatuh cinta, dan kehilangan.

Max dan Laura dulu pernah saling jatuh cinta, bertemu lagi dalam satu celah waktu. Cerita Max dan Laura pun bergulir di sebuah bar terpencil di daerah West Melbourne. Keduanya bertanya-tanya tentang perasaan satu sama lain. Bermain-main dengan keputusan, kenangan, dan kesempatan. Mempertaruhkan hati di atas harapan yang sebenarnya kurang pasti.

Setiap tempat punya cerita.

Dan bersama surat ini, kami kirimkan cerita dari Melbourne bersama pilihan lagu-lagu kenangan Max dan Laura.

Enjoy the journey,
EDITOR


Review:

Laura dan Max pernah punya sejarah kisah cinta. Mereka dipisahkan oleh takdir sampai kemudian dipertemukan kembali beberapa tahun kemudian. Laura bekerja sebagai freelancer di salah satu stasiun radio kenalannya, punya kucing bernama Paris, dan tinggal bersama dengan sahabatnya Cee di Melbourne. Yang sebelumnya telah berjanji bersama akan sekolah dan menetap di sana selepas SMA.

Max yang berkerja sebagai designer cahaya bepergian dari kota ke kota, konser ke konser, sampai suatu waktu ia mendengarkan acara Laura mengudara di radio. Ia langsung menyadari suara Laura dari pertama kali ia mendengarnya. Dengan satu SMS singkat, lalu berlanjut ke SMS lainnya, akhirnya Max dan Laura kembali menjalin hubungan 'pertemanan'. 

"I don't get to meet someone like her every day." - hal. 43

Seperti kata Cee dan yang saya yakini juga, dua orang manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, tidak akan mengenal arti kata teman jika masing-masing sudah menjadi dekat. Dan betul saja, Max menyadari ternyata hatinya terus tertambat pada Laura. Ia bahkan menyadari jauh dari saat bertemu kembali dengan Laura, makanya hubungan sebelumnya dengan bule asal Australia, Viv, tidak berjalan mulus. 

"I've never loved anyone else the way that I love you." - hal. 82

Laura kemudian menemukan sosok yang dapat mengisi ruang kosong dalam hatinya dalam perwujudan nyata seorang Evan, yang tak lain adalah pacar Cee. Mulai dari sini, hati Laura mulai menjadi rumit. Ia menjadi bingung antara Max dan Evan. Yap... sampai poin ini saya sadar bahwa Laura adalah seorang perempuan seperti kebanyakan. Ia jatuh cinta, patah hati, kemudian berusaha untuk move on lalu menyadari ada seseorang yang bisa mengisi lubang di hatinya. Dan mungkin juga ada sebagian orang yang tidak setuju, ada yang sampai berpikir, ini si Laura lagi ngapain sih, kok malah suka sama Evan?, dan lainnya. Tapi, suatu waktu... Laura sadar kemana hatinya menuju. Ibarat suatu gol, jalan untuk menempuh mulai dari bola ditendang, diserahkan kepada teman satu tim, sampai bola tersebut menghasilkan gol semua butuh proses. Sama dengan cinta, kadang kita kehilangan arah. Dibawa ke kiri, ke kanan, bahkan jungkir balik, tapi semuanya adalah proses. 

"You have to let go of those feeling, Ra. Anger, fear, regret. It's the only way you can forgive yourself and love again." - hal. 225

Sampul buku di seri STPC ini semuanya bagus. Kesannya simpel walau hanya berisi sebuah judul, nama penulis, dan ornamen pendukung. Warnanya kalem, sekalem ceritanya. Dan yang pasti, saya suka dengan selipan postcard di balik sampul bukunya. Walau saya tahu, saya tidak akan pernah menggunakan postcard itu. Saya juga suka dengan ilustrasi kota Melbourne yang ada di dalam setiap babnya.

Hampir semua tokoh dalam buku ini saya suka. Laura yang kata Max selera musiknya aneh, Max yang punya pekerjaan keren, Cee yang sangat peduli dengan sahabatnya, dan Evan yang baik hati. Semuanya berkolaborasi membuat Melbourne jadi tidak membosankan.

Winna memilih judul lagu menjadi penanda setiap bab. Saya pikir awalnya track list itu hanyalah judul-judul lagu yang asal saja ditambahkan, tapi ternyata lagu tersebut memang ada sangkut pautnya dengan cerita di dalamnya. Keren.

Alur yang disuguhkan adalah alur maju dan mundur dengan sudut pandang orang pertama secara bergantian (Laura dan Max). Kali ini Gagas lolos dari typo, paling ada beberapa kata yang tidak sengaja digabung tanpa tanda spasi. Untuk saya yang paling aneh adalah bagian ketika Max mengatakan bahwa film kesukaan Laura adalah A Moment to Remember. Nah loh, Mungkin seharusnya A Walk to Remember. Karena saya tidak tahu film lain yang soundrack-nya Someday We'll Know juga selain itu.

Saya cukup puas dengan ending buku ini. Walaupun klimaksnya berkesan klise. Untuk pecinta buku roman, rasanya sayang sekali jika melewatkan buku ini. Karena Winna Efendi berhasil membawa saya menantikan kembali bukunya selanjutnya. 4 bintang untuk Melbourne: Rewind.

Review ini diikutsertakan juga untuk Sayembara Resensi Buku yes24 periode 09/09 - 15/09

7 comments:

  1. Ah aku ingat belum mereview buku ini... bingung mau review apa :))
    Reviewnya bagus, Tammy ^^

    ReplyDelete
  2. aku juga suka sama endingnya, suka juga sama lagu-lagu di buku ini terlebih list pas nikah itu, bisa dicontek :))

    ReplyDelete
  3. aku baca buku ini mandeg jegleg di bagian mereka bertemu lagi trus ngga kuat nerusin, alurnya lambaat ._.

    ReplyDelete
  4. @Orin: ayo cepet direview, nanti kalo kelamaan malah tambah lupa :))

    @Mbak Sulis: ihiy... udah dapet playlist-nya XD

    @Vina: Buku ini emang lambat sih ._. diterusin lagi aja, tanggung... kasian sama bukunya di-HTS-in *loh* XD

    ReplyDelete
  5. Kisahnya sederhana tapi cara Winna Efendi menuliskannya luar biasa. Endingnya bisa dibilang bagus dan memuaskan buat aku. Baca review aku tentang Melbourne: Rewind --> http://dhynhanarun.blogspot.com/2013/09/melbourne-rewind.html

    ReplyDelete
  6. Reviewnya cukup mampu membuat pembaca tahu positif negatif novel ini. Jadi, bisa di bilang reviewnya sudah berfungsi dengan baik. :D
    Aku juga sudah mereview novel ini. Tapi, aku lupa, kemarin ngasih rating berapa. :D Namun, analisis kamu dan aku hampir sama lah. Oh, ya garis bawah aja, bagian yang bikin aku nggak srek sama novel ini adalah di awal cerita, kesannya datar banget sehingga alurnya jadi lambar. So far, novel ini tetap saja terasa unik karena punya kisah dan cara bercerita yang bener-bener memukau.

    ReplyDelete
  7. Udah lama banget pengen baca seri STPC, tapi nggak tau mau mulai dari mana. Mungkin kalau punya kesempatan bakal beli yang Melbourne, karena review bagus dari mbak Tammy dan beberapa orang lain yg saya kenal. :|a

    anyway, salam kenal, Mbak Tammy! Sama-sama dari Bogor yah! hehehehehe.

    ReplyDelete