Sunday, February 9, 2014

[Book Review #74] The Amulet of Samarkand

Penulis: Jonathan Stroud
Penerjemah: Poppy D. Chusfani
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan kelima, Maret 2010
Publikasi pertama: 2003
Tebal: 512 halaman
ISBN: 978-979-22-2641-6
Rating: 4 dari 5 bintang
Bisa didapatkan di: Bukukita

Blurb:

Nathaniel, si penyihir muda, diam-diam memanggil jin berusia 5.000 tahun bernama Bartimaeus. Tugas untuk Bartimaeus tidak gampang---ia harus mencuri Amulet Samarkand yang berkekuatan dahsyat dari Simon Lovelace, master penyihir yang kejam dan ambisius.

Bartimaeus dan Nathaniel pun terlibat dalam intrik sihir yang penuh darah, pemberontakan, dan pembunuhan.

Review:

Buku ini awalnya mungkin ditulis gak sengaja akibat sebuah pengandaian. Andaikan penyihir di dunia ini ada dan berkuasa. Andaikan mereka mempunyai kekuatan untuk melakukan pemanggilan terhadap berbagai jenis demon. Andaikan ternyata di dunia ini sebagian besar demon menyerupai manusia ada di sekitar kita.

Nah, cukup berandai-andainya. Bartimaeus adalah seekor jin berusia 5.000 tahun yang suatu kali dipanggil oleh seorang bocah dan sekaligus penyihir yang tidak berpengalaman untuk menjadi masternya, Nathaniel. Nathaniel memang memiliki bakat untuk menjadi seorang penyihir. Di bawah bimbingan masternya, Arthur Underwood, kemampuannya tidak berkembang. Maka ia memberanikan diri untuk melakukan pekerjaan kecil untuk membalas masternya dan penyihir-penyihir lain yang merendahkannya.

Bartymaeus diperintahkan untuk mencuri Amulet Samarkand yang dimiliki oleh salah satu penyihir kejam dan ambisius di London, Simon Lovelace. Barty tahu tentang kekuatan amulet itu dan bagaimana masalah yang akan dipicu karena pencurian itu. Dan betul saja, saat ia bisa mengambil amulet itu. Semua lapisan plane di kediaman Lovelace bergetar dan membuatnya masuk ke dalam masalah. Mulai dari imp, sphere, foliot, jin, sampai tingkatan yang lebih dari itu memburunya untuk mengambil amulet kembali tersebut atas perintah Lovelace.

Kejadian yang tak disangka-sangka terjadi. Amulet tersebut ternyata diincar oleh sekelompok commoner alias manusia biasa yang menamakan diri mereka Resistance. Namun, melalui kejadian tak terduga, Barty secara tidak sengaja mengetahui nama lahir Nathaniel yang bagi setiap penyihir itu adalah hal yang tidak menguntungkan, karena setiap demon akan dengan sengaja menyerang balik penyihir tersebut dan membebaskan mereka dari perintah.

Karena hal tersebut, Nathaniel membuat perjanjian baru dengan Barty. Dan mereka sedikit demi sedikit mulai mengungkap rahasia dibalik kepemilikan Lovelace atas Amulet Samarkand.

"Kau harus berhenti mengkhawatirkan apa yang belum kaumiliki dan menikmati apa yang telah kaudapatkan sekarang." - hal. 113

Akhirnya ada kesempatan juga untuk menulis resensinya setelah berminggu-minggu tertunda. Awalnya saya kira ceritanya akan berbau-bau horor karena di sinopsisnya jelas-jelas mengatakan ada campur tangan demon. Tapi ternyata tidak, saya justru dibuat tertawa dengan berbagai macam gurauan sarkasme dan narsis khas Barty.

Saya gak suka sebetulnya dengan sampul depan bukunya. Sampulnya menyeramkan dan mungkin untuk orang yang mau beli bukunya berdasarkan sampul, dikiranya sama seperti dugaan awal saya bahwa buku ini memang buku horor. Saya juga sampai menutup buku ini dengan buku lain saat tidak sedang membacanya supaya gak terbayang-bayang ^^;;;

The Amulet of Samarkand ini mengambil dua sudut pandang. Pertama adalah Bartimaeus dengan sudut pandang orang pertama (aku), dan yang kedua adalah Nathaniel dengan sudut pandang orang ketiga. Perpindahan sudut pandang ini tidak memusingkan saya saat membacanya. Penulis cukup jelas membagi dua sudut pandang itu dengan menaruh nama masing-masing tokohnya di awal bab. Seluruh catatan kaki yang tersebar di dalam buku ini merupakan awan-awan pemikiran Barty sebagai POV 1.

Saya suka dengan ide cerita buku ini. Karakternya juga benar-benar kuat sehingga bisa terus menempel di kepala saya. Lalu... di dalam buku ini kedua tokoh utamanya tidak ditonjolkan dengan berbagai gambaran yang terlalu sempurna. Barty digambarkan sebagai demon yang kurang ajar, bermulut tajam, narsis, jail, dan seenaknya sendiri. Sedangkan Nathaniel digambarkan sebagai anak kecil yang pendendam, tidak sabaran, dan ambisius. Namun, di antara keduanya saya justru menemukan sisi alami dari berbagai sifat manusia di seluruh dunia ini. Dan keduanya justru menjadi tim yang kompak walaupun masing-masing dari mereka sepertinya tidak sadar :p

Walau saya ingin sekali menjewer Nathaniel karena semua masalah yang disebabkannya, saya justru merasa kasihan saat membaca kisah Nathaniel di buku ini. Ia dijual oleh orang tuanya, mendapatkan master yang menganggapnya remeh alih-alih membimbingnya dengan benar, tidak punya teman atau orang yang menyayanginya, dan harus menanggung beban berat di umur dua belas tahun. Jadi penyihir ternyata tidak semudah yang diduga *sigh*

Salah satu kekurangan sekaligus menjadi kelebihan buku ini terletak pada deskripsinya yang sangat panjang dan detail. Di satu sisi, detailnya deskripsi tersebut membuat saya benar-benar membayangkan seperti apa adegan tersebut. Namun di sini lain, panjangnya deskripsi tersebut kadang membuat saya bosan sehingga lama sekali untuk menamatkan buku ini.

Tapi untuk keseluruhan, saya suka dengan cerita, karakter, konflik, dan ending buku ini. Cuma agak aneh aja sebetulnya. Kok anak seumur itu bisa memecahkan masalah yang rumit sekaligus. Hehe...

4 bintang untuk Barty dan Nathaniel di buku pertama ini. Saya menantikan lagi duet mereka di buku selanjutnya~

Salah kata:
- Hal. 222 > horisontal, seharusnya horizontal.
- Hal. 362 > Lovelcace, seharusnya Lovelace.
- Hal. 362 > Shaman yang membuatnya (adalah) penyihir yang benar-benar andal.

Literary award:
- Mythopoeic Fantasy Award for Children's Literature (2006)
- Deutscher Jugendliteraturpreis Nominee for Jugendbuch (2005)

Review ini diikursertakan dalam:
- 2014 TBRR Pile Reading Challenge
- Lucky No. 14 Reading Challenge (kategori Chunky Brick)
- New Author Reading Challenge 2014
- Indiva Readers Challenge 2014
- Young Adult Reading Challenge 2014

7 comments:

  1. foot note Barty adalah favoritku. Udah baca The Ring of Solomon Tam?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Belum, Mbak Lina. Tapi udah punya sih, cuma waktu mau baca itu agak bingung. Buku triloginya dulu atau buku The Ring of Solomon dulu. Aku pilih aja baca triloginya dulu >.<

      Delete
    2. aku penasaran tungguin reviewmu untuk buku 3 nya Tam. Menurutku buku 1 bagus, buku 2 agak turun sih tensinya kataku nah buku 3 mending baca langsung. #Fansjinnarsis

      Delete
    3. Ini lagi baca buku ketiga, Mbak. Wkwkwk...

      Review buku kedua belum selesai-selesai. Gak tau kenapa susah banget nulisnya :v

      Delete
  2. wkwkwkw sampe ada salah penulisan aja direviewnya, disebutin lagi xD ini buku fav-ku sejak SMP, aku ingat banget bacanya pas kelas 2 SMP. Dan saya setuju klo karakternya di sini begitu kuat sampai aku ingat sampai sekarang =w=b

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gak sengaja kebaca, Mide. Jadi ya udah dimasukin review aja. Tanggung :))

      Delete
  3. Dan saya heran kenapa sampai sekarang belum juga membaca seri ini.

    ReplyDelete