Thursday, March 13, 2014

[Book Review #85] The Ring of Solomon

Penulis: Jonathan Stroud
Penerjemah: Poppy D. Chusfani
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan kedua, Februari 2013
Publikasi pertama: 2010
Tebal: 528 halaman
ISBN: 978-979-22-8943-5
Rating: 4 dari 5 bintang

Bisa didapatkan di: Bukukita

Blurb:

Bartimaeus, sang jin luar biasa, terjebak sebagai budak di Jerusalem, di bawah kekuasaan Raja Solomon. Semua ini gara-gara cincin legendaris Solomon, yang membuat pemiliknya memiliki kekuatan tak terbatas.

Namun, dengan datangnya Asmira, gadis pembunuh yang ternyata punya banyak rencana, keadaan mulai… menarik.

Maka Bartimaeus pun berada di posisi paling berbahaya selama kariernya yang panjang dan harus mengerahkan semua kekuatan sihirnya agar bisa lolos dari situasi ini.

Petualangan Bartimaeus yang pasti dianggap seru oleh pembaca lama maupun baru.


Review:

Peristiwa dalam buku ini terjadi pada 950 SM, jauh sebelum buku triloginya dimulai. Pada saat itu Bartimaeus (disingkat Barty) melayani seorang master yang sangat kejam, Khaba. Master sebelumnya, yang juga salah satu dari 17 menteri di kerajaan Solomon, tewas setelah melakukan kesalahan pada saat keduanya berada di pentakel. Benda sihir yang dicuri oleh Barty mengeluarkan semburan air yang mengarah kepada masternya tersebut.

Karena Solomon murka atas terbunuh masternya itu, Barty harus melakukan pekerjaan membangun kuil yang sama sekali tidak boleh menggunakan sihir. Barty, Faquarl, dan demon lainnya mengerjakan kuil itu dengan kecepatan seorang manusia biasa. Baru pada saat Khaba lalai mengawasi, mereka mempraktekan sihir untuk meringankan beban kerja mereka.

Bukan Barty namanya jika tidak terlibat masalah. Pada saat ia menggunakan sihir, berwujud kuda nil dengan tidak pantas, serta menyanyikan lagu mengejek, Solomon beserta rombongan datang meninjau lokasi pembangunan. Sekali lagi Solomon murka dengan ulah Barty. Untuk mempertanggungjawabkan kelalaian anak buahnya, Khaba diperintahkan untuk menyelidiki serangan yang kerap terjadi pada pedagang di gurun pasir. 

Solomon adalah raja yang memerintah Jerusalem dan ditakuti oleh rakyat, sekutu, serta musuhnya karena ia memiliki sebuah cincin berkekuatan sihir yang mengandung entitas besar. Hanya dengan memutar cincin tersebut, Solomon bisa mendatangkan demon-demon tanpa batas yang tunduk padanya.

Di gurun pasir itu, Barty bertemu dengan Asmira. Seorang pengawal Ratu Balkis dari Sheba yang menyamar menjadi pendeta dengan misi membunuh Solomon dan mencuri cincinnya. Solomon melalui demon-nya mengancam Ratu Balkis untuk membayar upeti setelah ia menolak lamaran Solomon.

Melalui Khaba, Asmira meminta untuk membebaskan Barty dan Faquarl setelah kedua demon tersebut menolongnya di gurun. Lalu dengan kemampuan yang pas-pasan, Asmira melakukan pemanggilan pada Barty. Perintahnya tidak berbelit-belit, Barty diminta untuk membantunya untuk membunuh Solomon dan mencuri cincin miliknya.
***

Sejak selesai membaca buku Trilogi Bartimaeus, Jonathan Stroud telah resmi menjadi penulis favorit saya. Maka dari itu, saya langsung membaca buku sekuel ini saat ada kesempatan.

Sama seperti buku triloginya, halaman pada The Ring of Solomon ini juga cukup tebal. Isinya terdiri dari empat sudut pandang dari Barty (POV1), Asmira (POV3), Solomon (POV3), dan Balkis (POV3). Tapi di antara keempat sudut pandang itu, hanya bagian Barty dan Asmira lah yang utama. Celotehan sarkasme dan sindiran khas Barty masih tetap mengisi sebagian besar cerita dan catatan kakinya.

Untuk sampul depannya, cukup bagus apabila dibandingkan dengan buku triloginya yang berkesan seram. Bukan secara acak sampul depan buku tersebut dipasang. Seekor pheonix yang sedang membawa cincin adalah salah satu adegan yang terjadi dalam buku ini.

Buku ini bisa dikatakan lebih ringan daripada buku triloginya. Temanya masih berkisar politik dan perebutan kekuasaan, tapi sisi humornya lebih banyak terdapat dalam buku ini sehingga saya tidak merasa terbebani saat membacanya.

Karakter dalam buku ini lumayan banyak. Tapi karena saya membacanya tidak terburu-buru, semuanya bisa saya kenal dengan baik. Tokoh yang saya favoritkan masih tetap Barty, dengan sarkasme, narsis, dan lebaynya yang selalu membuat saya tertawa. Pada saat saya menemukan Faquarl di sini, saya seolah-olah dibawa bernostalgia pada buku Barty sebelumnya yang saya baca. Kebetulan Barty dan Faquarl di sini tidak bermusuhan dan sedikitnya saya bisa tahu tentang sejarah mereka berdua sebelum kisah Nathaniel dimulai.

Entah mengapa, saya merasakan kemiripan beberapa sifat Asmira dengan Kitty Jones. Coret untuk sikap plin-plan Asmira di akhir, karena Kitty tidak seperti itu. Tapi untuk daya juang, semangat, keras kepala, tekad, dan niatnya saya akui ia mirip Kitty.

Jonathan Stroud memang piawai mengolah diksinya menjadi suatu cerita yang bagus. Kedalaman risetnya pun tidak diragukan lagi. Penggabungan latar sejarah nyata dan fiksi fantasi memaksa saya untuk mengingat-ingat detil sejarah yang telah saya lupakan. Beliau membuat saya kagum dengan keluasan imajinasinya.

Saya tidak ada masalah dengan terjemahannya. Terjemahannya bagus dan mengalir saat dibaca. Hanya saja, buku ini terlalu banyak salah kata yang mengganggu. Ini beberapa salah kata yang saya lihat sepanjang saya membaca bukunya. Tidak termasuk kesalahan tanda baca yang juga sama banyaknya. Lumayan bikin saya gemas. Beberapa mungkin terlewat oleh saya dan semoga ini bisa membantu apabila buku ini dicetak ulang.
1. Hal. 130, tidakan > tindakan
2. Hal. 141, prosentase > persentase (asal kata persen)
3. Hal. 142, sebeah > sebelah
4. Hal. 170, catik > cantik
5. Hal. 182, peru > perlu
6. Hal. 219, Solmon > Solomon
7. Hal. 223, tetang > tentang
8. Hal. 226, sagat > sangat
9. Hal. 235, seyumnya > senyumnya
10. Hal. 238, seyum > senyum
11. Hal. 288, pendeeta > pendeta
12. Hal. 289, bentu-bentuk > bentuk-bentuk
13. Hal. 310, meliha > melihat
14. Hal. 326, memaggilmu > memanggilmu
15. Hal. 401, duuga > duga
16. Hal. 402, printah > perintah
17. Hal. 431, pemunuh > pembunuh
18. Hal. 473, baragkali > barangkali
19. Hal. 478, hapir > hampir
20. Hal. 513, beruca > berucap

Akhir buku ini membuat saya menghembuskan nafas lega. Sesuai perkiraan saya sebelumnya memang dan saya agak kecewa tidak ada twist di sana. Tapi untuk keseluruhan, saya merekomendasikan buku ini terutama untuk penggemar fantasi dan juga penggemar Trilogi Bartimaeus. 4 bintang untuk Barty yang banyak akal.

Literary awards:
- School Library Journal Battle of the Books (2011)

Buku Trilogi Bartimaeus:
1. The Amulet of Samarkand
2. The Golem's Eye
3. Ptolemy's Gate

Review ini diikursertakan dalam:
- 2014 TBRR Pile Reading Challenge
- Lucky No. 14 Reading Challenge (kategori Favorite Author)
- Indiva Readers Challenge 2014
- Young Adult Reading Challenge 2014

No comments:

Post a Comment