Thursday, December 12, 2013

[Book Review #52] Montase

Penulis: Windry Ramadhina
Penerbit: GagasMedia
Cetakan keempat, 2013
Tebal: 368 halaman
ISBN: 978-979-780-605-7
Rating: 4 dari 5 bintang
Status buku: Hadiah dari RC Ren's Little Corner
Harga: Rp. 41.650 di bukukita

Blurb:

Aku berharap tak pernah bertemu denganmu.
Supaya aku tak perlu menginginkanmu, memikirkanmu dalam lamunku.
Supaya aku tak mencarimu setiap kali aku rindu.

Supaya aku tak punya alasan untuk mencintaimu.

Dan terpuruk ketika akhirnya kau meninggalkanku.

Tapi...,

kalau aku benar-benar tak pernah bertemu denganmu, mungkin aku tak akan pernah tahu seperti apa rasanya berdua saja denganmu. Menikmati waktu bergulir tanpa terasa.
Aku juga tak mungkin bisa tahu seperti apa rasanya sungguh-sungguh mencintai...

dan dicintai sosok seindah sakura seperti dirimu.

Review:

Sejak mama Rayyi yang telah meninggal memperlihatkan sebuah film dokumenter berjudul The Man With a Movie Camera garapan sineas legendaris asal Uni Sovyet, Dziga Vertov, tujuan hidup Rayyi seolah terarah untuk membuat film dokumenter. Jadi pada saat film dokumenternya tidak lolos dalam festival film dokumenter berskala nasional yang disponsori oleh Greenpeace, Rayyi kesal saat mengetahui film dokumenter yang dibuatnya kalah bersaing dengan film dokumenter milik seorang gadis Jepang yang mirip boneka kokeshi, Haru Enomoto.

"Inilah sebabnya aku menyukai film dokumenter. Film dokumenter membuat aku sadar bahwa hidup ini nyata, bahwa dunia yang kutinggali ini tidak sempurna." - hal. 178
Rayyi adalah mahasiswa IKJ semester 6 yang mengambil peminatan Produksi karena desakan ayahnya untuk mengikuti jejaknya sebagai produser, namun ia justru menyusup masuk ke kelas peminatan Dokumenter karena tahu kuliah umum tersebut akan diisi oleh Samuel Hardi, seorang produser sekaligus sutradara film dokumenter terbaik Asia.

Sejak tugas pertama yang diberikan oleh Samuel Hardi, Rayyi jadi dekat dengan Haru. Ia bahkan merekam Haru untuk dijadikan tugas observasinya. Kedekatan mereka berlanjut, sedikit demi sedikit pun Haru mulai diterima di kelompok para Goggle dan menjadi Goggle kelima sejak obrolannya dengan Sube tentang Goggle V. Dan di samping itu... secara tidak Rayyi sadari, Haru telah menjadi candu baginya. Papaver somniferum-nya.
"Kita tidak hidup selamanya, Rayyi. Karena itu jangan buang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak kita inginkan." - hal. 250
Yang agak membingungkan pada saat saya selesai membaca buku ini adalah, Windry tidak menjelaskan mengenai arti Montase yang dipakai dalam judul bukunya. Tapi untung saja saat saya mengetik judul buku ini di KBBI, artinya muncul. Jadi Montase itu adalah 1. komposisi gambar yg dihasilkan dr pencampuran unsur beberapa sumber; 2. karya sastra, musik, atau seni yg terjadi dr bermacam-macam unsur; 3. gambar berurutan yg dihasilkan dl film untuk melukiskan gagasan yg berkaitan; 4. pemilihan dan pengaturan pemandangan untuk pembuatan film. Dan setelah saya tahu artinya, saya mengangguk-angguk sendiri karena memang judul tersebut betul-betul mewakili cerita ini.

Sampul bukunya bagus. Dan sebetulnya, buku ini sudah masuk ke dalam wishlist saya awalnya gara-gara sampul depannya yang kece. Ini adalah buku kedua Windry yang saya baca setelah London. Karena jatuh hati pada London, saya niat untuk membaca buku Windry lainnya.

Karakter utama dalam buku ini adalah Rayyi dan cerita yang disuguhkan di dalam bukunya pun memakai sudut pandangnya. Awalnya saya kurang suka pada sikap Rayyi yang setengah hati dan tidak berani mengatakan apa keinginan utamanya pada ayahnya. Haru adalah titik baliknya. Melalui Haru, Rayyi sadar akan mimpinya dan akhirnya ia memilih tujuan yang memang menjadi impiannya.

Haru di sini adalah seorang gadis polos yang ceroboh. Gak tahu kenapa, mungkin karena sifatnya itu saya membayangkan sosok Haru adalah tokoh Chizumi dalam komik Golden Book dan Angin Musim Gugur karya Kyoko Hikawa. Agak mirip XD #maksa

Karakter lain yang ikut meramaikan suasana adalah sahabat-sahabat Rayyi yaitu Sube, Andre, dan Bev. Saya suka dan tersenyum beberapa kali saat membaca cerita pertemanan mereka, yang rela berkorban demi kepentingan teman lainnya.

Bagian favorit dalam buku ini adalah saat Rayyi merekam Haru saat sketsa kelopak lilinya bertebaran di lantai dan menjadikannya seorang peri lili dalam kamera Rayyi. Filmis dan magis. Saya ikut tertegun dan berdebar sama dengan Rayyi sampai-sampai adegan itu terekam dalam kepala saya dalam gerakan lambat. Dan satu lagi adalah... surat Haru untuk Rayyi. Bikin terharu T_T

Saya suka dengan diksi Windry yang dipilih dalam buku ini. Untuk urusan typo pun, sepertinya buku ini nyaris tidak ada satu typo pun. Hanya setelah membaca buku ini hampir habis, klikmaksnya datar. Saya kurang dapat feel-nya juga. Hanya saja saya kagum pada Windry yang telah melakukan riset yang dalam untuk Montase.

Satu bagian yang saya tidak mengerti. Mengapa Haru disebut si kepala angin oleh Rayyi? Apa karena jalan Haru cepat seperti angin? Entahlah. 4 bintang untuk Rayyi dan Haru.
"Suteki da ne? Kono raifu (Hidup ini indah, ya?)" - hal. 251

2 comments:

  1. Kepala angin itu perumpamaan untuk kata 'bodoh' Tam. Mungkin karena tingkah laku Haru yang ceroboh dan keliatan bodoh. :D

    ReplyDelete